Di tengah gegap gempita tepuk tangan anak-anak sekolah Minggu, aku
melayangkan pandangan mataku ke ruangan kelas sambil memegang pena dan sebuah
buku absen. Saat pena yang kupegang membubuhkan satu tanda silang pada sebuah
nama, aku langsung tertegun. Empat tanda silang yang berurutan telah menandai
sebuah nama. Itu berarti, sudah empat minggu berturut-turut dia tidak datang ke
sekolah Minggu. Namanya Ronald .
Anak lelaki yang tidak bisa dikatakan hidup
berbahagia. Tubuhnya kurus, tinggi, dan ia masih duduk di kelas 5 SD, Rumahnya
tidak terlalu jauh dari tempat di mana kami mengadakan sekolah Minggu. Bisa
dikatakan dia adalah anak yang paling tidak menyenangkan bila dipandang mata,
setidaknya untuk mataku.
“ronald mana?” tanyaku saat ibadah sekolah Minggu
sudah selesai kepada seorang anak yang rumahnya bersebelahan dengan rumah
ronald
“Tadi sudah kuajak, Kak, tapi katanya malas!”
Hatiku langsung berdesir menahan
rasa kesal, “Uhhh …, alasan itu lagi! Aku pastikan dia tidak akan mendapatkan
tanda tangan dariku”
“Kak, bagaimana kalau kita mengunjungi ronald saja. Kan
rumahnya dekat, Kak?”
Apa! Oh tidak, dari luar saja rumahnya tidak sedap
dipandang dan tampak tidak menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal, apa
lagi kalau kita berada di dalamnya. Aku masih terdiam dan menggerutu dalam hati
saat tiba-tiba beberapa anak sudah berada di sekelilingku,
“Ayo Kak, katanya
kalau ada teman yang sudah lama nggak ke gereja harus dikunjungi supaya mau
datang lagi.”
“Iya, Kak. ronald itu malas, maunya nonton film kartun aja. Kalau
kita ramai-ramai ke sana sama Kakak, mungkin dia mau bertobat, Kak!”
“Ehh,
iiiiiiya …, iya …, iiya ….!”
kataku terbata-bata pada anak-anak sekolah
Minggu-ku yang sudah semakin banyak berkumpul untuk mengunjungi temannya yang
sudah lama tidak masuk itu. Aku tertegun. Saat ini rasa kesalku berganti dengan
rasa marah, rasa marah pada diriku sendiri. Oh, Tuhan …, aku telah menjadi guru
sekolah Minggu `Farisi`, hanya berkata-kata saja tanpa bisa membuktikannya
dalam keseharianku. Bagaimana bisa aku menghilangkan rasa kasih yang harus
kumiliki saat aku berkomitmen melayani Engkau sebagai seorang guru sekolah
Minggu? Ampuni aku Tuhan!
Tanpa menunggu jatuhnya linangan air mataku, aku
langsung berdiri, “Ayo, kita ke rumah nya, kita mau berdoa untuk dia.”
Langkahku begitu mantap. Dengan lembut kuketuk pintu kayu yang sudah mulai
lapuk itu. Kakiku begitu ringan melangkah saat memasuki rumah yang gelap dan
tidak berlantai itu. Aroma tidak sedap rumah itu menjadi aroma kegirangan dalam
hatiku saat ronald berlari ke arahku dan menjabat tanganku.
“Kenapa ronal tidak
datang ke sekolah Minggu?” tanyaku. “Sakit panas, Kak!” Langsung aku sentuh
dahinya. Tidak panas! Dan, raut wajahnya pun tidak menunjukkan tanda-tanda
bahwa ia sakit. Suara anak-anak sekolah Minggu yang ikut dalam kunjungan itu
pun kudengar berbisik- bisik menyangsikan pengakuan Budi. Aku tahu dia
berbohong, tetapi kukendalikan diriku karena aku sangat tidak suka dibohongi.
Dengan memegang tangannya, aku berkata,
“Kalau begitu kami akan mendoakan kamu
ya, dek !” Minggu berikutnya, kembali kulayangkan pandanganku ke setiap bagian
dalam ruangan sekolah Minggu yang penuh dengan gegap gempita tepukan tangan anak-anak
yang dikasihi Tuhan. Dan, pena yang kupegang tidak menorehkan tanda silang lagi
pada sebuah nama anak lelaki yang hari ini tampil begitu manis dan bersih. Saat
kulihat sukacita di wajah ronald hari itu, aku seperti melihat wajah Yesus
tersenyum padaku. Aku adalah salah satu contoh hamba yang tidak setia, tetapi
diberikan kesempatan oleh Tuannya untuk memperbaiki sikap dan hati dalam
melayani-Nya lebih sungguh lagi. Ampuni aku Tuhan karena hampir menolak seorang
anak yang mau datang kepada-Mu dan gagal menjadi teladan bagi domba-domba-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar